FAKTA BARU, NASA Ungkap Penyebab Likuifaksi Petobo dan Gempa Palu hingga Ilmuan Terkejut
Foto aerial, Selasa (2/10/2018), menunjukkan kondisi Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, usai diguncang gempa bumi dan likuifaksi. - TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR |
Gempa Bumi yang meluluhlantakkan Palu disusul tsunami dan Likuifaksi yang menewaskan 2.086 jiwa dengan total kerugian mencapai Rp 18,48 triliun, ternyata tergolong peristiwa langka yang cuma terjadi sebanyak 15 kali dalam catatan sejarah geografi.
Ilmuan Laboratorium Propulsi Jet atau JPL NASA mengklaim, gelombang seismik bergerak menelusuri sesar Bumi dengan kecepatan super yang memecahkan batas kecepatan geologis.
Kondisi warga pengungsi di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulawesi Tengah, usai dihantap angin kencang, Jumat (28/12/2018). (Tribunpalu.com/Abdul Humul Faaiz) |
Hasil studi ini sejalan dengan kesaksian korban selamat dari neraka lumpur Likuifaksi yang menelan nyawa dan harta warga di kawasan Balaroa, Petobo dan Jogo One.
Penampakan Petobo sebelum dan setelah Gempa & Tsunami Palu |
Getaran yang tercipta jauh lebih kuat ketimbang pada gempa bumi yang lebih lambat.
Untuk mengungkap temuan tersebut ilmuwan menganalisa pengamatan resolusi tinggi spasial terhadap gelombang seismik yang disebabkan gempa bumi, radar satelit dan citra optis.
Metode ini diperlukan buat menghitung kecepatan, tempo dan tingkat magnitudo gempa berkekuatan 7,5 pada skala Richter di Sulawesi Tengah.
Menurut JPL, gempa di Palu bergerak dalam kecepatan stabil, yakni 14,760 km per jam, dengan getaran terbesar terjadi selama satu menit.
Gempa bumi biasanya terjadi dalam kecepatan antara 9.000 hingga 10,800 km per jam.
Ilmuwan menemukan, dua sisi dari sesar sepanjang 150 kilometer itu bergeser sepanjang lima meter - jumlah yang menurut ilmuwan sangat besar.
"Memahami bagaimana sesar bergerak pada gempa bumi besar bisa membantu menyempurnakan pemodelan bahaya seismik dan desain bangunan serta infrastruktur lainnya agar bisa menahan gempa bumi di masa depan," kata salah satu penulis studi, Eric Fielding, ilmuwan JPL.
Menurut studi, Sesar yang retak menciptakan ragam jenis gelombang di tanah, termasuk gelombang geser yang menyebar dengan kecepatan 12.700 km per jam.
Dalam gempa berkecepatan tinggi seperti di Palu, retakan yang bergerak cepat menyalip gelombang geser yang lebih lambat dan menciptakan efek domino yang menghasilkan gelombang seismik yang lebih mematikan.
"Getaran yang intensif serupa seperti dentuman sonik pada pesawat jet," kata Lingsen Meng, seorang profesor di University of California dan salah satu penulis studi.
Ilmuwan terkejut oleh kecepatan gempa di Palu yang sangat konstan, mengingat bentuk sesar di Sulawesi Tengah sendiri.
Selama ini ilmuwan meyakini gempa bumi berkecepatan tinggi alias supershear hanya terjadi pada sesar yang berbentuk lurus sehingga tidak menciptakan banyak rintangan bagi pergerakan gempa bumi.
Kesaksian Para Korban Selamat
Rumah amblas ke dalam tanah, lalu naik ke permukaan hingga dua meter, aspal seperti dipelintir, tanah menggunung setinggi lima meter dan mengeras dalam 14 hari setelah fenomena Likuifaksi di Petobo, Palu.
Kini yang selamat kembali ke bekas rumah mereka, mencari barang-barang yang masih bisa digunakan.
Gundukan tanah bagai bukit bercampur puing bangunan di atas area seluas 180 hektare merupakan medan yang tidak bersahabat lagi bagi Hasnah Hamid, ibu empat anak, yang selamat dari musibah itu di Petobo.
Rumahnya sulit ditemukan, karena sudah bercampur dengan tanah yang mengeras.
Hasnah mengikuti jejak eskavator yang lebih aman untuk dipijak. "Sudah tidak ada pohon, tertelan lumpur," katanya.
Hasnah membuka payungnya, melindungi dirinya dari teriknya sinar matahari.
Alat berat itu sejak 1 Oktober lalu beroperasi untuk membelah gundukan lumpur yang menelan ribuan rumah dan kendaraan, membuat jalan baru agar proses pencarian korban lebih mudah.
Hasnah selamat karena ia tidak berada di rumahnya saat bencana itu terjadi.
"Sore itu berada di Tolitoli, saat gempa terasa, saya baru tahu rumah hancur malamnya, akhirnya ke Palu pukul delapan malam, jalur Kebun Kopi terputus, sehingga baru sampai rumah paginya." Kata Hasnah sambil berjalan dan menerka letak rumahnya.
Suami dan anaknya berada di dalam rumah.
Ketika merasakan gempa, mereka langsung lari keluar rumah dan menyelamatkan diri.
"Suami saya bilang, tanah seperti bergelombang dan retak," tambah Hasnah.
Seperti dipelintir
Dia mampu mengenali rumahnya karena melihat rongga di antara tumpukan puing bangunan. Ia mengenali barang-barang yang tercecer.
Sesaat kemudian ia menumpuk dua lusin piring, dan beberapa perabot rumah tangga yang mudah pecah, semuanya dalam keadaan utuh. Bahkan surat-surat berharga ditemukan tanpa noda lumpur.
Laptop milik anaknya juga masih berfungsi. Hasnah sampai heran ketika mengumpulkan semua barang-barang itu, ketika melihat area di sekelilingnya seperti dipelintir.
"Barang saya ini tidak apa-apa, piring tak pecah, mungkin karena rumahnya ke dalam, lantainya naik, barang-barang ada di atas lantai, pengaruh air di dalam tanah, ini tadinya rawa, mungkin itu, rumah turun tidak keras, kalau keras jatuhnya mungkin ini pecah," kata Hasnah.
Safrudin, warga lain di Petobo, sementara itu bingung karena tidak bisa menemukan benda-benda miliknya.
Rumahnya amblas dan tanah di sekitarnya naik setinggi hingga lima meter.
Safrudin sejak tadi mengintip lewat celah-celah kayu yang mengarah ke bawah, ia perkirakan itu beranda rumah, tiga motor saudaranya yang kebetulan parkir di sana sudah tidak bisa diselamatkan.
Dia dan tujuh saudaranya tinggal di Palu.
Meski barangnya tertelan lumpur, semua keluarganya selamat termasuk istri dan anaknya.
"Rencananya lihat acara di pantai, setelah mandi sudah mau ke sana, tiba-tiba datang gempa," ungkap Safrudin.
Ketika itu itu keluarga besar berkumpul di rumah salah satu kerabat di Palu, bersiap-siap untuk menghadiri pesta adat Palu Nomoni, yang diadakan setahun sekali di Pantai Talise.
Mereka mengenakan pakaian terbaiknya untuk menghadiri festival. Safrudin bahkan sempat membeli baju baru untuk anaknya.
Saat gempa bumi berkekuatan 7,4 pada skala Richter terjadi Jumat (28/09) petang, Safrudin masih di rumah, belum sempat ke pantai.
"Kami saling tunggu, karena kamar mandi cuma satu, tujuh keluarga berkumpul di sana, jadi pasti telat untuk ke pantai" kata Safrudin. Rumah kerabatnya berada sekitar lima kilometer dari pantai, termasuk yang paling utuh dari guncangan gempa.
Ia tidak menyangka bahwa keputusannya untuk berkumpul dahulu di rumah kerabat, justru menyelamatkan mereka semua dari bencana: tsunami di Pantai Talise, gempa bumi, dan fenomena alam Likuifaksi yang menelan rumahnya di Petobo.
Tidak ada komentar
Posting Komentar